Selasa, 29 April 2008

Proses Belajar Di Dalam Penulisan Puisi


Apa yang seringkali menjadi problem kita di dalam menulis sebuah sajak? Apa pula yang sesungguhnya menjadikan sebuah sajak terasa merdu dibaca, mampu menyentuh perasaan, memiliki gaya pengimajian yang sangat menarik dan memiliki bobot kualitas sastra yang tinggi? Sepertinya ada semacam resep yang harus kita temukan untuk dapat menjadi seorang penyair yang baik.

Bahkan untuk menjadi seorang penyair yang handal dan berbobot kita harus meningkatkan diri kita sendiri untuk menjadi seorang yang benar-benar ahli di dalam bidang yang ingin kita tekuni tersebut. Seperti juga keahlian seorang koki, kalau memasak sekedar memasak mungkin banyak orang yang bisa melakukannya namun untuk menjadi seorang chef di sebuah hotel berbintang lima jelas dibutuhkan sebuah keahlian khusus. Dalam konteks inilah maka diperlukan proses belajar itu sebagai sebuah kegiatan yang harus terus-menerus kita jalankan secara berkesinambungan untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian diri.

Ada beberapa pertanyaan yang dapat kita jadikan indikasi untuk melihat tingkat keseriusan kita dalam menekuni bidang yang satu ini; Apakah di dalam penulisan puisi ini kita hanya ingin sekedar menjadi seorang penggembira atau lebih terdorong lagi untuk menjadi seorang maestro? Apakah menurut anggapan kita merupakan harapan yang terlalu muluk untuk mewujudkan impian-impian serupa itu? Apakah terlampau berlebihan bila sekiranya kita bercita-cita untuk menjadi seorang penyair hebat semacam Chairil Anwar atau Sapardi Djoko Damono? Tentu saja hal itu tergantung dari segenap kemauan dan kesadaran kita atas bakat dan seluruh kemampuan yang kita miliki. Ada beberapa tahapan tertentu yang harus kita jalani untuk dapat meraih apa yang kita idam-idamkan itu. Yang pertama-tama dan wajib kita lakukan tentu saja adalah kita harus mulai menulis. Apa yang dapat kita tulis tentu saja meliputi banyak hal. Disinilah peran keakraban itu mulai mengambil posisinya yang paling menentukan di dalam menentukan langkah keberhasilan kita di masa depan.

Apakah kita cukup mengakrabi materi yang hendak kita tulis? karena tak ada satu hal pun yang instan dan datang dengan sendirinya. Kita harus mengenal diri kita sendiri, segenap bakat dan kemampuan, ketrampilan dalam mengolah kata, keahlian membangun imaji atau menyusun rima irama, dan bagaimana pula kita harus menyusun lapis-lapis makna di dalam sajak itu hingga mampu menggelorakan semangat vitalisme dari dalam diri sang penyair tanpa harus terjerembab ke dalam permaiann kata-kata belaka. Satu kata kunci yang harus kita pegang teguh adalah kita harus mengakrabi segala hal-hal tersebut.

Tapi dari mana sesungguhnya asal dari keakraban itu? Sutardji Calsoem Bachri sang presiden penyair yang akrab dipanggil dengan sebutan Cals pernah menyatakan bahwa untuk bisa akrab dengan kata sebagai bagian yang paling esensial dari sebuah sajak maka jikalau perlu kita haru menyelam ke dalam batu.

Wah bagaimana mungkin?” dengan serta-merta pula kita akan membantah.

Tentu saja mungkin!” jawab sang penyair besar itu sambil tersenyum-senyum. Karena yang ia maksudkan adalah kita harus menyelami kata itu hingga ke dalam intinya yang paling mendasar. Dan demikianlah Sutardji kemudian menemukan bahwa inti kata di dalam sajak terdapat di dalam mantra, maka lahirlah sajak-sajak mantra dari segenap keahliannya itu.

Dalam kesempatan lain Sapardi Djoko Damono yang sering dianggap pula sebagai guru besar para penyair pernah pula menyatakan bahwa “Pada mulanya adalah kata” karena itu kata memegang peranan yang sangat esensial, tidak sekedar sebagai media utama dalam penulisan puisi namun juga dalam media komunikasi. Oleh karena itu “kata”mu harus mampu menyampaikan maksudmu, jangan jadikan kata berhenti sebagai kata yang tidak menyiratkan apa-apa.

Pendekatan-pendekatan penulisan serupa itulah yang harus dari awal mula kita pahami bila kita memang berniat sungguh-sungguh ingin menjadi seorang penulis dan terlebih lagi menjadi seorang penyair. Kita harus mampu menundukkan kata, karena seorang penyair atau penulis adalah orang-orang yang tidak sekedar mempergunakan kata dan bahasa itu sebagai media di dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya melainkan dalam banyak kesempatan mereka bahkan mampu menciptakan sebuah tradisi dalam proses berbahasa itu sendiri.

Satu hal yang jelas adalah bahwa keakraban lahir dari latihan terus-menerus dan kontinyu sifatnya. Keakraban yang lahir sebagai bentuk interaksi alamiah antara sang author dengan media yang dipergunakannya. Seorang rekan yang mengikuti sebuah workshop penulisan novel di Surakarta baru-baru ini menyampaikan bahwa mereka, para peserta work shop itu dituntut untuk mampu menuangkan gagasan secara rutin di atas kertas setidaknya 2 hingga 3 jam sehari dan bila memungkinkan jadwal tersebut harus terus ditambah. Sekali lagi tidak ada cara yang instan, bahkan untuk dapat menulis sebuah novel kita dituntut untuk menulis dengan cara simultan atau kita akan kehilangan momentum.

Demikianlah kenyataannya bahwa banyak penulis besar yang menyampaikan bahwa proses kreatif mereka seringkali lahir dengan cara begitu saja, tanpa resep-resep yang rumit, sekedar menulis dan terus menulis. Sehingga seperti yang pernah dialami oleh Budi Darma misalnya yang mampu menuangkan gagasannya bahkan tanpa harus memikirkannya terlebih dahulu, kata-kata mengalir demikian deras serupa air yang ngocor dari pipa keran yang bocor.

Kegiatan menulis sebagai sebuah aktivitas rutin akan mengasah intuisi kita, sekaligus ketajaman pikiran serta kepekaan kita atas keberadaan dan eksistensi kata. Dalam banyak kasus seperti yang dialami Budi Darma itu banyak penulis handal yang mungkin nggak sempat berfikir lagi apa yang harus ditulis, bagaimana alurnya? bagaimana karakter tokohnya? mengapa harus begini? atau mengapa harus begitu? karena naluri mereka sudah mengarahkan pergerakan tangan untuk menulis dengan sendirinya. Peristiwa serupa ini memang mungkin saja terjadi dan seringpula disebut sebagai penulisan otomatis (automatic writing) seolah sang penulis tengah berada dalam keadaan trance (serupa kesurupan). Bahkan ada sebuah gerakan penulisan serupa itu di luar negeri yang dipelopori oleh Andre Breton.

Keakraban sekali lagi dapat muncul dari banyak aspek seperti intensitas pemakaian dan penggunaan media, bisa pula dari kedalaman pengendapan batin, perenungan yang matang dan intensif atau juga dari kekayaan pengalaman hidup seorang penulis. Keakraban di sisi lain akan melepaskan kita dari kebuntuan gagasan, hal ini seperti tampak dalam puisi-puisi Joko Pinurbo atau H. Mustofa Bisri yang ditulis berdasar apa yang menjadi bahan perenungan mereka sehari-hari. Keakraban materi yang merupakan bagian dari kekayaan pengalaman pribadi sang penulis adalah merupakan bahan yang tidak akan ada habisnya untuk digali. Namun keberhasilan puisi-puisi serupa itu masih pula tergantung pada banyak aspek lainnya, yang antara lain adalah keahlian sang penulis dalam menggarap materi-materi yang telah tersedia di dalam dirinya. Selain intensitas pemakaian dan juga pengalaman hidup, keakraban yang lahir dari pengendapan batin dan perenungan pikiran tak bisa lepas dari kekayaan wawasan yang diperolehnya dari bacaan-bacaan yang bermutu yang memberikan daya dorong inspiratif.

By. Yuliati


PUISI POP ATAU LAGU POP

Ada sebuah paradoks dalam dunia perpuisian. Apakah kita sepakat, bahwa hampir setiap orang (yang melek aksara dan bisa berbahasa) pernah menulis puisi? Seorang penyair atau yang merasa diri penyair tentu saja pernah menulis puisi, justru menjadi semacam profesi atau dedikasi. Bagi orang “biasa”, mungkin mereka menulis puisi dalam buku harian, majalah dinding, surat untuk kekasih, saat mengisi buku kenangan, bahkan kini dalam blog pribadi. Akan tetapi, adakah hampir setiap orang membeli (atau membaca dengan antusias) puisi-puisi orang lain? Barangkali kita perlu meneliti secara sungguh-sungguh, agar kita tahu penyebab mengapa buku puisi kurang laku dibanding novel, sehingga penerbit merasa enggan untuk menggarap karya-karya para penyair Indonesia.

Padahal puisi merupakan karya sastra paling universal (apalagi banyak dikembangkan menjadi lagu, atau dengan kata lain, sejumlah besar lirik lagu bisa dikategorikan puisi), yang paling mudah dikenali dari bentuknya: baris-baris kata atau kalimat menjadi bait atau kuplet. Puisi enak dibaca berulang-ulang, ketimbang sebuah cerpen atau novel yang tentu jauh lebih panjang dan menghabiskan banyak waktu. Oleh karena itu puisi juga mudah dihafal luar kepala. Puisi demikian ringkas mengemas perasaan tertentu, sementara prosa justru terasa meluas ke pelbagai arah. Puisi pintar menyimpan misteri sehingga perlu berulang-kali menerka tafsirnya, sementara prosa terasa lebih menjelaskan ketimbang menyembunyikan. Puisi acap kali bersifat personal… nah, barangkali ini simpul musababnya.

Sesuatu yang personal membutuhkan keterkaitan emosional antara penulis dan pembacanya. Sedangkan cerita pendek dan novel (yang realis) bisa diterima pelbagai pihak dengan rentang usia atau profesi yang demikian luas. Puisi, dalam sebuah ekstrem, terasa jadi sangat simbolik dan kepuitisannya jika tidak pas malah membuatnya kenes. Bagi orang biasa (bukan sastrawan atau penggemar sastra), cerita pendek dan novel lebih bisa dinikmati. Tentu karena sifat-sifat yang (umumnya) lebih menjelaskan: ada narasi deskripsi, bahkan dibantu percakapan antartokoh (bila ada).

Mengapa setiap orang cenderung memilih puisi sebagai ekspresi atau katarsis dari gejolak perasaannya? Karena puisi menjadi alat pengucapan yang sanggup segera menangkap sekaligus mengisyaratkan perasaan dalam sebuah momentum. Andai seseorang memilih cerpen atau novel ketika sedang gandrung, marah, atau terharu, agaknya perasaan itu terburu tawar sebelum jalan pengungkapannya selesai. Meskipun, dalam kasus tertentu, seseorang akan menulis prosa dengan memelihara “keterharuannya” secara konsisten sepanjang proses penulisannya. Itu saya kira persoalan obsesi.

Karena kita akan bicara mengenai puisi pop, maka perlu menyamakan persepsi tentang pop terlebih dahulu. Jika pop berasal dari kata populer, maka sesuatu yang pop selalu digemari banyak orang. Pop menjadi semacam budaya massa, suatu tren yang menjalar demikian cepat dan mendunia. Kata pop dapat disandangkan ke pelbagai objek. Lagu pop, film pop, pop corn, pop mie, lolypop… Pop kemudian dibedakan dengan yang klasik. Pertanyaannya adalah: adakah lagu pop tidak akan pernah menjadi klasik? Demikian juga cerita pop, yang muncul sebagai karya kontemporer, tidakkah suatu saat akan menjadi cerita klasik?

Dalam sebuah diskusi, Remy Sylado sebagai penggagas “puisi mbeling” di tahun 70-an, mengatakan bahwa pada awal gerakannya, pop dibuat demikian serius. Tujuannya adalah ingin mengusik kemapanan yang seolah-olah menempatkan posisi lagu, gambar, sastra, mode busana hanya milik menara gading. Seniman, baik pelukis, komponis, sastrawan, sutradara, maupun pemeran teater di masa lalu menjadi orang-orang agung dan waskita. Karya-karya mereka menjadi sesuatu yang adiluhung. Namun tiba-tiba segala yang eksklusif itu mencair oleh gerakan pop. Gerakan yang ingin memberikan alternatif, agar tidak hanya mempercayai arus besar karya (puisi) kontemplatif sebagai satu-satunya genre. Mereka, para “pemberontak”nya mencoba menciptakan subgenre-subgenre. Dengan melelehkan “kebekuan” karya yang seolah “tak tersentuh” (proses penciptaannya) oleh orang-orang awam, disambut masyarakat dengan gembira. Karena kemudian publik lebih berani menampilkan karyanya, termasuk puisi. Saya kira ini sebuah keberanian yang patut dipuji.

Pop itu ternyata lebih cepat diaplikasi, karena lebih “berwarna” dan mudah (atau boleh?) diduplikasi. Segala yang pop tumbuh sebagai bagian dari kegiatan sehari-hari, digemari banyak orang. Ditandai dengan produk semacam cocacola, film Holywood, fried chicken, arloji Guess, dan lain-lain. Lalu bagaimana dengan cerpen pop dan puisi pop? Cerpen yang mengangkat tema cinta remaja atau dewasa dengan mengusung ikon-ikon yang bersifat “fashion” (misalnya menyebutkan nama mal, judul film, makanan, penyanyi yang sedang kondang) dianggap cerpen pop. Puisi tentunya disebut demikian juga, jika hanya membahas masalah yang “tampak” di permukaan. Tampil dengan presentasi ragawi bukan dengan menggali kedalaman isi. Seolah-olah puisi pop tak akan tahan lama, sebab begitu ganti generasi, ikon di dalamnya tak dikenali lagi.

Berangkat dari kata populer itulah, seharusnya, sebuah karya sastra terutama puisi, diuntungkan. Karena kata populer itu berkaitan dengan “dikenal banyak kalangan”, tentu nama pengarangnya akan lebih lekas melambung. Bahkan seakan-akan menggeser nama-nama “dewa” penyair yang sudah malang melintang lebih dulu. Hal itu berlaku bagi penulis prosa, misalnya Hilman Hariwijaya atau Mira W. Sedangkan penulis puisi, selain Remy Sylado, mungkin “hanya” Yudhis, Arswendo Atmowiloto. Padahal banyak sekali orang menulis puisi (pop), tetapi tidak serta-merta bersedia disebut penyair pop.

Lantas kenapa puisi pop tumbuh subur, sebagaimana lagu pop? Saya rasa karena sanggup memenuhi kebutuhan perasaan banyak orang. Oleh karena itu, puisi pop menjadi bagian dari pergaulan masyarakat. Puisi pop terasa ringan, mudah dicerna, dan dilahap seperti halnya popcorn, lolypop, atau popmie.

By. Yuliati


Jumat, 11 April 2008

imajinasiku

Aku

aku bukan detak
pada jam yang tiada henti
aku bukan sinar
yang dapat memberikan cahaya
aku bukanlah bunga
yang rela memberikan madu pada kumbang
aku bukan malaikat
yang selalu memberikan kebaikan
aku adalah aku
apa adanya bukan dalam kebiasaan.

imajinasi puisi remaja





Goreskan tinta disebuah kertas untuk mengungkapkan semua imajinasi jiwamu.Sebuah kata lisan terungkap dari hati lewat sebuah puisi.

PUISI

  • Puisi adalah jenis karangan yang dalam penyajiannya sangat mengutamakan kegayaan kata. Kata yang bergaya merupakan salah satu unsur terpenting yang selalu dipikirkan penyair dalam mengungkapkan ide atau perasaannya. Cara pengungkapan puisi inilah yang kemudian disebut gaya bahasa (language figurative), gaya bahasa atau sering pula disebut majas. Majas sendiri adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis dan mampu pula menimbulkan efek tertentu dalam hati pembaca.
  • Puisi dapat juga diartikan sebagai karya sastra yang dibuat sebagai hasil penghayatan atau refleksi seseorang terhadap kehidupannya. Melalui puisi, seseorang ingin mencurahkan segala isi hatinya. Isi hati tersebut tidak hanya berupa perasaan, tetapi juga pikiran, sikap, dan harapan penulis terhadap objek yang sedang dihayatinya.
  • Puisi tersusun atas dua unsur pokok, yaitu Isi dan bentuk. Isi atau tema puisi mencerminkan suatu persoalan hidup yang hendak sihayati, dirasakan, dipikirkan, atau disikapi penulis. Adapun aspek bentuk berupa media atau sarana pengungkapan isi yang terdiri atas diksi, gaya bahasa, rima, irama, dan pengimajinasian.
  • Langkah pertama dalam menulis puisi adalah memikirkan tema atau pokok persoalan yang akan diungkap. Langkah selanjutnya adalah menentukan segi bentuknya.
Puisi hakekatnya bukan hanya terletak pada bentuk formalnya meskipun bentuk formal itu penting. Hakekat puisi ialah apa yang menyebabkan puisi itu disebut puisi. Puisi bebas atau puisi modern tidak terikat pada bentuk formal. Hakekat pusi terdapat tiga hal
(1) sifat seni atau fungsi estetik (2) kepadatan, dan (3) ekspresi tidak langsung.
  • Fungsi estetik
Sebagai karya seni, unsur estetika (keindahan) dalam puisi harus menonjol. Tanpa adanya keindahan itu karya kebahasaan tak dapat disebut karya (seni) sastra. Unsur keindahan tersebut misalnya: Rima, diksi (pilihan kata), Irama, dan gaya bahasa. Gaya bahasa meliputi semua penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu kepuitisan dan keindahan
  • Kepadatan
Bentuk puisi amat padat artinya penulisan puisi mengandung sedikit kata akan tetapi mengungkapkan banyak hal.
  • Ekspresi yang tidak langsung
Secara tidak langsung puisi mewakili gagasan pengarangnya secara tidak langsung. Pembaca yang ingin memahami suatu puisi harus berfikir lebih dahulu karena pengarang tidak menyampaikan maksud puisinya secara lugas.

  • Unsur-unsur yang terdapat dalam puisi
(1) Tema
Tema merupakan bagian puisi yang tidak terpisahkan. Dalam membuat puisi haruslah menentukan tema yang akan ditulis, tema ini membantu penyair untuk menentukan objek yang akan dijadikan sebuah puisi.
(2) Rima
Rima (sajak) adalah persamaan atau pengulangan bunyi. Bunyi yang sama itu tidak terbatas pada akhir baris, tetapi juga bait. Persamaan bunyi merupakan pola estetika bahasa yang diupayakan. Oleh karena itu persamaan bunyi yang dimaksudkan disini adalah persamaan (pengulangan-pengulangan) bunyi yang memberikan kesan merdu, indah, dan dapat mendorong suasana yang dikehendaki oleh penyair.
(3) Irama
Irama dalam puisi sama halnya dengan musik, karena keduanya ditentukan oleh ukuran waktu atau tempo. Bedanya ukuran tempo dalam musik betul-betul bisa mandiri tetapi dalam puisi ukuran tempo tergantung dari banyaknya bunyi suku kata baik pada kata, frasa, maupun kalimat pada setiap baris. Irama memiliki perulangan bunyi, pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek, dan memiliki keteraturan.
(4) Diksi
Diksi adalah pemilihan kata untuk menyampaikan gagasan secara tepat. Selain itu diksi berarti kemampuan pemilihan kata yang cermat sehingga dapat membedakan secara tepat nuansa makna (perbedaan makna yang halus) gagasan yang ingin disampaikan dan (kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi. Penyair dalam menulis puisi harus dapat memilih dan menyusun kata yang tepat agar hal-hal yang disampaikannya dapat terungkapkan dan juga dapat pula menimbulkan imajinasi estetik.
(5) Makna Denotasi dan konotasi
Makna denotatif adalah makna yang ada dalam pikiran para pemakainya, misalnya kata kursi maknanya tempat duduk berkaki dan bersandaran.
Makna konotatif adalah makna yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan oleh pembicara atau pendengar. Dengan kata lain makna konotatif adalah makna tambahan yang timbul berdasarkan nilai rasa seseorang. Misalnya kata hujan menurut arti kata hujan merupakan titik-titik air berjatuhan dari udara lewat proses pendinginan, tetapi menurut penjual es kata hujan berarti musibah atau malapetaka karena dagangannya tidak laku.
(6) Citraan
Citraan adalah gambaran angan yang muncul di benak pembaca puisi. Lengkapnya citraan adalah gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Wujud gambarannya adalah sesuatu yang diraba, dilihat, dicium, dikecap, dan didengarkan, tetapi yang dicium, diraba, dilihat, dikecap, dan didengar hanya dalam angan-angan pembaca.

  • Berdasarkan bentuknya puisi dapat dikelompokkan sebagai berikut :
(a) Puisi terikat
Yakni puisi yang terikat oleh aturan-aturan bait dan baris. Jenis puisi yang termasuk ke dalam bentuk ini, antara lain: pantun, soneta, syair. Disamping itu juga dikenal pula puisi yang berbentuk sistikon, terzina, kuatren, kuint, sextet, septima, dan oktaf
(b) Puisi bebas
Yakni puisi yang tidak terikat oleh aturan-aturan bait, baris, maupun rima. Contoh Puisi bebas adalah puisi-puisi semacam karangan Chairil Anwar, Taufik Ismail, WS Rendra, atau puisi kontemporer Sutarzi Calzom Bahri.
Berdasarkan isi/tujuannya puisi dibedakan atas:
Romansa, puisi berisikan curahan cinta.
Elegi, puisi berisikan kesedihan, ratapan.
Ode, puisi berisikan sanjungan kepada tokoh atau pahlawan.
Himne, puisi berisikan doa, pujian kepada Tuhan.
Epigram, puisi berisikan slogan, semboyan, untuk membangkitkan perjuangan atau semangat hidup.
Satire, puisi berisikan sindiran atau kritik.
Balada , puisi berisikan kisah atau cerita.

  • Cara menulis puisi Remaja
Menulis puisi sering dikatakan bakat sehingga orang yang merasa tidak mempunyai bakat tidak dapat menulis puisi. Anggapan tersebut tidak terlalu benar, karena dari sekian banyak kisah sejumlah sastrawan terbukti bahwa pegaruh bakat sangatlah kecil. Jdi menulis puisi sebenarnya termasuk jenis keterampilan yang diperoleh melalui belajar dan berlatih.
Dalam menulis puisi yang pertama-tama kita lakukan adalah (1) Menentukan tema. Tema adalah pokok persoalan yang akan kita kemukakan dalam bentuk puisi.Tema merupakan pokok pembicaraan yang mendasari puisi. Puisi itu membicarakan apa? Keindahan alamkah, kecantikan seorang gadis kah, kebencian yang mendalamkah, atau membicarakan apa? Apapun dapat menjadi tema puisi yang akan anda tulis. Dengan adanya tema akan memudahkan dalam menulis puisi, terutama pada penulis puisi yang masih belajar. (2) Setelah menemukan tema kita perlu mengembangkan tema tersebut menjadi puisi. Hal-hal yang akan dikemukakan dalam puisi itu dapat dicari melalui pemikiran atau pengamatan. Dari hasil pengamatan tersebut kemudian dipilih dan ditentukan mana yang akan kita ungkapkan dalam puisi. (3) Langkah berikutnya adalah mengembangkan tema dalam bentuk puisi dengan memperhatikan pemilihan kata dan majas yang sesuai. (4) Pemilihan kata dipilih untuk menyampaikan gagasan dan ketepatan penggunaannya(diksi) sangat penting untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan sesuai dengan nilai rasauntuk dapat mewakili dan menggambarkan hal-hal yang dikehendakinya. Kemampuan memilih kata mencakup kemampuan memilih dan menyusun kata-kata dengan cara sedemikian rupa untuk menimbulkan imajinasi estetik. Pemilihan kata harus memperhatikan rangkaian kata antara kata satu dengan yang lainnya hingga dapat menimbulkan (a) Rangkaian bunyi yang merdu (b) makna yang dapat menimbulkan nilai rasa estetis (c) kepadatan bayangan yang dapat menimbulkan kesan mendalam. Memilih kata dalam puisi bukanlah pekerjaan mudah. (5) Pemakaian majas. Majas sama dengan gaya bahasa. Majas salah satu pendukung gaya bahasa. Majas yang mungkin digunakan dalam puisi contohnya antara lain:
Majas Perbandingan
a.Asosiasi (Simile) : bagai bulan purnama, seperti diiris sembilu
b.Metafora : gudang ilmu, anak emas, raja siang
c.Personifikasi : angin mengamuk, bel memanggil-manggil
Majas Pertentangan
a.Hiperbola : setinggi langit, kurus kering, terkejut setengah mati
b.Litotes : pemberian yang tidak berharga, bingkisan yang tidak berarti
c.Ironi : rajin sekali kamu (untuk menyindir orang malas)
d.Sinisme : sangat menyebalkan (sindiran langsung)
Majas Pertautan
a.Metonimia : mengendarai kijang ( maksudnya mobil kijang)
b.Sinekdoke
Pars pro toto: batang hidungnya ( yang dimaksud orangnya)
Totem pro parte : sekolahku menjadi juara (yang dimaksud adalah tim sekolahnya)
Majas Penegasan
a.Pleonasme : mundur kebelakang, mata kepalaku, turun kebawah
b.Klimaks : Camat, bupati, gubernur sampai menteri hadir dalam upacara itu.

  • Mendiskusikan keindahan bahasa puisi
Puisi merupakan jenis karangan yang penyajiannya sangat mengutamakan aspek keindahan. Keindahan yang terdapat dalam puisi terpancar dalam susunan bunyi dan pilihan katanya. Dalam puisi dikenal adanya rima, irama, dan nada. Istilah-istilah tersebut berkaitan dengan efek keindahan bunyi yang dijalin dalam sebuah puisi.
Perhatikan penggunaan kesamaan bunyi beserta variasi-variasinya dalam pemenggalan puisi berikut:

Terombang-ambing tanpa arah pasti
Tersendat, terhenti, merenung
Dalam laut kehidupan yang beku

Mengapa sang waktu bergulir
Begitu lambat, begitu cepat?
Bertanya-tanya tentang aktivitas masa ini


Kecuali dalam persamaan bunyi, keindahan puisi terdapat pula pada pilihan dan rangkaian kata yang digunakannya. Kata dan rangkaian kata yang bergaya merupakan unsur penting lain dalam menciptakan efek estetis. Majas menjadikan larik dan bait-bait dalam puisi hidup, bergerak, dan merangsang pembaca untuk memberikan reaksi tertentu dan merenungkan atas apa yang diungkapkan penyair.

  • Pemakaian gaya bahasa dalam puisi remaja
Puisi adalah jenis karangan yang dalam penyajiannya sangat mengutamakan kegayaan kata. Kata yang bergaya merupakan salah satu unsur terpenting yang selalu dipikirkan penyair dalam menyampaikan ide atau perasaannya. Cara penyampaian inilah yang kemudian disebut gaya bahasa (language figurative). Gaya bahasa atau sering pula disebut majas, adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis dan mampu pula menimbulkan efek tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa membuat larik dan bait-bait dalam puisi hidup, bergerak, dan merangsang pembaca untuk memberikan reaksi tertentu dan berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair.
Puisi merupakan karya sastra yang paling mewakili ekspresi perasaan penyair. Bentuk ekspresi itu dapat berupa kerinduan, kegelisahan, atau pengagungan kepada kekasih, kepada alam, atau Sang Khalik. Oleh karena itu, bahasa dalam puisi akan terasa sangat ekspresif dan lebih padat.
Jika penyair hendak mengagungkan keindahan alam. Maka sebagai sarana ekspresinya ia akan mewakili dan memancarkan nuansa makna tentang keindahan alam yang digambarkannya itu. Jika ekspresinya merupakan kegelisahan dan kerinduan kepada Sang Khalik, Bahasa yang digunakannya cenderung bersifat kontemplatif (perenungan) atau penyadaran akan esistensinya dan hakikat keberadaan dirinya sebagai hamba Tuhan.
Gaya bahasa para penyair itu sifatnya individual. Setiap penyair memiliki gaya bahasa yang khas masing-masing. Namun demikian, coraknya dapat diidentifikasi secara umum. Jenis gaya bahasa yang sering digunakan penyair adalah personifikasi, metafora, hiperbola, tautologi, dan paralelisme.

  • Mendeklamasikan puisi
Dalam berpuisi, pembaca tidak sekedar menyembunyikan kata-kata, lebih dari itu ia pun bertugas mengkomunikasikan ekspresi perasaan penyair. Untuk sampai pada tahapan itu, syarat-syarat yang harus dipahami pembaca terhadap puisi yang dibawakannya adalah:
1.Keutuhan makna puisi itu
2.Penjiwaan pesan dan nuansa yang terkandung didalamnya.
3.Ketepatan dalam pelafalan.
4.Kebenaran irama.
5.Kesesuaian lagu kalimat dengan makna dan nuansa.
6.Kesesuaian ekspresi
7.Pembawaan yang meyakinkan